
APAAJA.NET – Tepuk tangan untuk kebijakan terbaru dari dunia pendidikan Indonesia! Saat Kurikulum Merdeka bahkan belum sepenuhnya mengakar, kini muncul wacana baru: penjurusan kembali di jenjang SMA. Sebuah langkah yang mengundang nostalgia sekaligus tanda tanya besar: apakah kita benar-benar butuh kembali ke sistem lama?
Penjurusan: Kembali ke Masa Lalu?
Penjurusan Kembali di Kurikulum Merdeka: Wacana ini muncul karena siswa dianggap kebingungan memilih mata pelajaran di Kurikulum Merdeka. Tapi apakah solusi dari kebingungan adalah menghapus pilihan? Atau sebenarnya, sistem pendampingan dan asesmen yang belum maksimal?
Kebebasan Tanpa Arah, atau Sistem yang Belum Siap?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak siswa salah jurusan bukan karena mereka bodoh, tapi karena tidak punya panduan yang valid. Minat dan bakat mereka tidak dikenali secara akademis. Akibatnya, anak berbakat seni nyasar ke kelas IPA karena tekanan sosial atau harapan orang tua.
Baca Juga: 10 Jenis Beasiswa Dalam Negeri untuk Mahasiswa S1, D3, dan D4 di Indonesia
Asesmen: Jalan Tengah yang Rasional
Alih-alih kembali ke sistem kaku, banyak pendidik mulai menerapkan asesmen berbasis Multiple Intelligence. Model ini mengenali 9 tipe kecerdasan seperti interpersonal, musikal, visual-spasial, hingga naturalis—bukan hanya logika matematika dan verbal saja.
Melalui asesmen ini, siswa dibantu memahami kekuatan unik mereka, dan guru bisa mengarahkan pembelajaran secara personal.
Belajar dari Sistem Pendidikan Negara Maju
Negara seperti Jerman, Belanda, Jepang, Korea Selatan, dan China telah mengintegrasikan penjurusan dengan asesmen valid sejak dini. Mereka tidak asal memasukkan siswa ke jalur akademik atau vokasi tanpa pemetaan potensi.
Jurusan Bukan Kasta, Tapi Kerangka Fleksibel
Masalah utama dari sistem lama adalah stigma. IPA dianggap pintar, IPS biasa saja, Bahasa kurang diminati. Padahal di era ini, anak IPS bisa jadi data analyst, anak Bahasa jadi diplomat, dan anak IPA bisa viral di TikTok.
Solusi ke depan bukanlah menghapus kebebasan, melainkan menyediakan peta yang objektif agar siswa tak tersesat dalam menentukan masa depannya.
Jangan Jadikan Penjurusan Sebagai Palu Godam
Jika benar penjurusan akan kembali, mari pastikan ia tak menjadi sangkar. Jadikan ia kerangka fleksibel yang dilandasi asesmen ilmiah. Jangan biarkan siswa memilih berdasarkan mitos atau tekanan sosial.
Pendidikan adalah soal membuka jalan, bukan mengarahkan paksa. Mari beri mereka kompas yang sahih, bukan peta yang sudah ketinggalan zaman.***