
APAAJA.NET – Suasana hangat dan penuh kekeluargaan terasa di serambi kanan Masjid Attaqwa malam itu, saat warga RT 03 RW 03 menggelar acara Halal Bihalal. Acara tersebut tidak hanya menjadi ajang saling memaafkan pasca-Ramadhan, tetapi juga ruang mempererat tali silaturahmi antarwarga.
Dalam ceramahnya, Prof. H. Sholihan, tokoh agama sekaligus akademisi, mengapresiasi kehadiran para sesepuh dan tokoh warga seperti Pak Tono, Pak Tu, Pak Sitep, Pak Wit, hingga Bu Wati dan Bu Dakw. “Ternyata banyak yang benar-benar sudah sepuh, bukan hanya disebut sepuh,” ujarnya dengan nada bercanda yang disambut tawa hadirin.
Baca Juga: Rekomendasi Mobil Keluarga Murah dan Irit BBM
Halal Bihalal: Budaya yang Bernilai Agama
Salah satu poin utama yang disampaikan Prof. H. Sholihan adalah bahwa tradisi halal bihalal telah berkembang menjadi fenomena sosial-budaya di masyarakat Indonesia. Meski berakar dari ajaran Islam, kini praktiknya meluas hingga lintas agama, instansi, dan tempat – mulai dari masjid, rumah makan, hingga pemancingan.
Meski demikian, makna keagamaannya tidak boleh dilupakan. “Halal bihalal itu muncul karena ada puasa Ramadan dan Idul Fitri. Tidak mungkin ada halal bihalal tanpa keduanya,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa puasa dapat menghapus dosa-dosa yang berkaitan dengan hak Allah (ḥaqq Allāh), tetapi tidak dengan dosa antar-manusia (ḥaqq al-ʿabd). Maka dari itu, umat Islam diperintahkan untuk saling memaafkan, sesuai dengan hadis yang menyebut istilah falyatahallalhu – hendaknya meminta untuk dihalalkan.
Kebaikan Itu Menular
Mengangkat pepatah Arab “al-khayru yaʿummu” (kebaikan itu menular), Prof. H. Sholihan menekankan bahwa perbuatan baik akan membawa dampak luas, termasuk dalam hal memaafkan. Dalam Islam, orang yang memaafkan kesalahan orang lain disebut sebagai muḥsin, yakni orang yang mencapai derajat ihsan – tingkatan spiritual di atas takwa.
“Kalau sekadar adil itu sudah baik. Tapi ihsan itu lebih tinggi: orang yang rela mengurangi haknya dan menambah kewajibannya,” ujarnya. Ia memberi contoh sederhana, seperti majikan yang memberi bonus kepada pembantu, atau pembantu yang membantu lebih dari tugasnya.
Tradisi Lokal yang Berakar Syariah
Menariknya, istilah “halal bihalal” sendiri tidak ditemukan dalam kamus Arab, namun bukan berarti istilah ini sembarangan. Prof. H. Sholihan menjelaskan bahwa ungkapan ini meski khas Indonesia, terinspirasi dari prinsip-prinsip bahasa Arab dan ajaran Islam yang sahih.
Ia juga mengutip tulisan ulama Nusantara seperti Gus Mus yang menyatakan bahwa istilah halal bihalal muncul sebagai respons terhadap anjuran Nabi untuk saling menghalalkan, bukan sekadar meminta maaf.
Baca Juga: Waspada Penipuan QRIS: Cara Mengenali QRIS Asli dan Tips Aman Bertransaksi
Menjaga Semangat dan Niat
Sebagai penutup, Prof. H. Sholihan mengingatkan bahwa meski halal bihalal kini kerap dibarengi dengan makan bersama, jangan sampai makna spiritualnya tenggelam. “Memaafkan itu tidak mudah, tapi di situlah letak kemuliaannya. Bukan minta maaf yang mulia, tapi memaafkanlah yang luar biasa,” pungkasnya.Acara ditutup dengan doa bersama dan ramah tamah antarpeserta, memperkuat semangat kebersamaan warga RT 03 RW 03.