
APAAJA>NET – Menjelang musim mudik Lebaran 2025, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) mengeluarkan ancaman mogok sebagai respons terhadap kebijakan pembatasan operasional truk selama periode arus mudik dan balik. Keputusan ini dipicu oleh terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) yang mengatur lalu lintas jalan dan penyeberangan, membatasi operasional angkutan barang mulai 24 Maret hingga 8 April 2025, selama 16 hari—lebih lama dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 10-12 hari.
Aptrindo menilai kebijakan ini tidak memperhitungkan dampak ekonomi bagi pengusaha dan sopir truk. Mereka mengajukan permintaan agar pemerintah mengurangi durasi pembatasan agar tidak menghambat distribusi logistik. Jika tuntutan ini tidak diakomodasi, Aptrindo mengancam akan melakukan aksi mogok nasional mulai 20 Maret 2025, yang dapat berdampak besar pada sektor logistik dan industri terkait.
Dampak Pembatasan Operasional Truk
Pembatasan angkutan barang dalam periode Lebaran berdampak pada banyak sektor, tidak hanya bagi pengemudi truk tetapi juga buruh bongkar muat, pemilik pabrik, pergudangan, hingga sektor perkapalan. Para pelaku usaha angkutan barang menilai aturan ini harus disertai perencanaan matang, seperti:
- Pengumuman lebih awal untuk memberikan waktu bagi pengusaha angkutan dalam menjadwalkan perjalanan armada.
- Pengurangan durasi pembatasan agar tidak mengganggu distribusi logistik nasional.
- Penyediaan moda alternatif seperti kereta api dan jalur perairan untuk mendukung pengiriman barang.
Jika pemerintah tetap menerapkan aturan tanpa kompromi, maka krisis distribusi barang bisa terjadi, mengingat 89,5% wilayah Jakarta kini sudah terlayani angkutan umum, sementara di daerah lain, infrastruktur transportasi masih belum maksimal.
Baca Juga: Mudik Gratis PLN 2025 Resmi Dibuka! Cek Syarat, Jadwal, dan Rutenya di Sini
Kesejahteraan Sopir Truk yang Terabaikan
Di balik polemik pembatasan operasional, kesejahteraan sopir truk juga menjadi isu utama yang belum terselesaikan. Berbagai masalah yang dialami sopir truk antara lain:
- Pendapatan rendah: Rata-rata penghasilan sopir truk berkisar Rp1 juta hingga Rp4 juta per bulan, masih di bawah upah minimum di berbagai daerah.
- Minimnya tunjangan dan perlindungan: Banyak sopir tidak mendapatkan tunjangan hari raya (THR), padahal mereka bekerja keras menjelang Lebaran.
- Kurangnya pelatihan dan sertifikasi: Mayoritas sopir tidak memiliki Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPP) karena biaya pelatihan yang mahal dan minimnya sosialisasi.
Dulu, sopir truk masih bisa membayar kenek dan memiliki kehidupan yang layak. Namun kini, pendapatan mereka semakin menurun akibat persaingan tarif dan meningkatnya biaya operasional.
Solusi dan Langkah yang Dapat Ditempuh
Untuk menghindari aksi mogok dan memperbaiki kesejahteraan sopir truk, beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain:
- Revisi kebijakan pembatasan operasional truk dengan mempertimbangkan masukan dari para pelaku usaha transportasi.
- Peningkatan kesejahteraan sopir truk melalui penerapan standar upah minimum yang layak.
- Penguatan moda transportasi alternatif seperti kereta api dan transportasi laut untuk mendukung distribusi logistik.
- Mendorong penggunaan angkutan umum bagi pemudik agar jalan raya lebih optimal bagi Sopir Truk
Baca Juga: Aptrindo Ancam Serukan Mogok Nasional Jelang Mudik Lebaran
Dengan adanya kebijakan yang lebih seimbang, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun sopir truk bisa mendapatkan solusi yang saling menguntungkan. Jika tidak, mogok massal bisa menjadi kenyataan dan berdampak luas terhadap ekonomi nasional.
Kesimpulan: Ancaman mogok dari Aptrindo jelang mudik Lebaran 2025 menyoroti masalah pembatasan operasional truk dan kesejahteraan sopir yang kurang diperhatikan. Pemerintah perlu mengambil langkah cepat untuk menyeimbangkan kepentingan semua pihak agar tidak terjadi krisis distribusi logistik menjelang Lebaran.