
APAAJA.NET– Dalam sebuah kunjungan ke Mesir, seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia mengungkapkan pengalamannya bertemu dengan Pak Isri Suriah, salah satu tokoh penting NU yang juga memegang peranan strategis di lingkungan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kairo. Pertemuan tersebut berlangsung rutin setiap kali dirinya berada di Mesir.
BACA JUGA: Zakat Fitrah: Penyempurna Puasa Ramadan
“Setiap saya datang ke Mesir, pasti yang pertama saya temui adalah Pak Isri Suriah. Beliau tokoh penting NU sekaligus memiliki kedudukan besar di KBRI,” ujarnya.
Pak Isri, menurutnya, dikenal sebagai sosok yang aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan keagamaan dan sosial, terutama yang berkaitan dengan Nahdlatul Ulama . Selain itu, ia juga dikenal sebagai figur yang tetap mengedepankan pendekatan spiritual dalam setiap aktivitasnya, termasuk melalui praktik-praktik tradisional seperti tawasul.
“Beliau bukan hanya mengandalkan ilmu pengetahuan formal, tapi juga pendekatan hati dan spiritual. Tawasul masih digunakan, dan ini sangat penting dalam memperkuat nilai-nilai keagamaan,” ungkapnya.
Dalam pandangannya, kemajuan yang dicapai di lingkungan pendidikan pesantren—baik di Mesir maupun di Indonesia—tidak hanya berasal dari kemampuan intelektual semata, tetapi juga dari keterhubungan spiritual dengan para ulama terdahulu. Ia menilai, pendekatan ini menjadi kekuatan tersendiri yang jarang ditemukan dalam sistem pendidikan modern.
Baca Juga: Usaha tahu goreng Pak Sunario dari Warisan Mertua, Tembus Pasar Ekspor hingga Singapura
“Tidak mungkin perkembangan seperti ini terjadi hanya karena ilmu dokter atau pengetahuan akademik saja. Harus ada keberkahan dari para pendahulu juga,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dalam konteks keislaman. Menurutnya, tidak ada dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Semua ilmu, tegasnya, diklasifikasikan dalam dua kategori: fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.
“Ilmu pengetahuan itu semuanya wajib. Ada yang fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah. Tidak ada ilmu umum atau ilmu agama dalam konteks ini,” jelasnya.
Konsep ini, menurutnya, menjawab keraguan sebagian masyarakat terhadap relevansi pendidikan pesantren di era modern. Ia meyakini, pondok pesantren yang menggabungkan tradisi dengan pendekatan ilmiah akan tetap menjadi pilihan utama bagi masyarakat di masa depan.