
Kalau bicara soal kuliner Wonosobo, banyak orang langsung teringat mie ongklok atau carica. Tapi bagi mereka yang tumbuh di lereng Dieng atau pernah singgah di dapur-dapur ndeso, ada satu sajian yang tak kalah ikonik: Jangan Lombok. Namanya saja sudah bikin penasaran. “Jangan” dalam bahasa Jawa berarti sayur, dan “lombok” adalah cabai. Jadi, jangan Lombok secara harfiah berarti sayur cabai. Tapi jangan salah sangka ini bukan sekadar kuliner pedas, ada cerita di balik kuliner ini.
Filosofi Pedas
Jangan Lombok bukan hanya soal rasa, tapi juga soal karakter. Di Wonosobo, di mana udara sejuk menusuk tulang, kehangatan bukan cuma datang dari selimut atau teh panas, tapi juga dari sepiring jangan Lombok yang mengepul di atas meja kayu.
Makanan yang kerap muncul saat hajatan ini rupanya bukanlah pengganti sambal, karena biasanya tuan rumah akan tetap menyajikan sambal ketika menggelar hajatan.
Jangan Lombok umumnya dimasak oleh para petani yang ingin praktis, karena di beberapa wilayah di Wonosobo, para istri juga ikut membantu suaminya untuk bekerja di ladang, sehingga hal ini membutuhkan masakan yang praktis dibuat, apalagi beberapa warga masih menggunakan tungku kayu bakar untuk memasaknya.
Di sisi lain, udara yang dingin juga membuat para petani memerlukan makanan pedas untuk menghangatkan tubuh.
Jangan Lombok Teman Setia Nasi Panas
Yang membuat jangan Lombok begitu digemari adalah kesederhanaannya. Bumbu iris seperti bawang merah, bawang putih, dan sedikit terasi cukup untuk menciptakan rasa yang dalam. Tak perlu santan atau rempah rumit. Justru kesederhanaan itulah yang membuatnya terasa “rumah”. Disajikan dengan nasi jagung atau nasi putih hangat, jangan Lombok jadi comfort food sejati bagi warga Wonosobo.
Jika tidak habis, jangan Lombok yang masih layak makan bisa dijadikan bumbu nasi goreng, tinggal diulek bersama ketumbar, jadilah nasi goreng khas pegunungan, yang secara tampilan sederhana tapi rasa dan aroma sunggu menggoda.
Warisan Dapur Nenek
Bagi banyak keluarga di Wonosobo, jangan Lombok bukan sekadar makanan, tapi juga warisan. Resepnya diturunkan dari generasi ke generasi, dan tiap rumah punya versi sendiri. Ada yang suka cabai hijau besar, ada yang pakai cabai rawit merah, ada pula yang menambahkan ikan asin sebagai pelengkap. Tapi satu hal yang pasti: rasanya selalu mengingatkan pada pelukan hangat nenek di dapur belakang rumah.
Hal ini tentu saja menjadi sesuatu yang masuk akal, mengingat zaman nenek masih muda, belum ada makanan seperti sosis yang bisa dimasak dalam waktu cepat. Sehingga jangan Lombok adalah jalan ninja ketika membutuhkan makanan dalam waktu cepat, tapi tetap cocok di lidah warga pegunungan.
Popularitas di Era Digital
Menariknya, jangan Lombok kini mulai naik daun di media sosial. Banyak food vlogger dan akun kuliner yang membagikan pengalaman mencicipi sayur pedas ini di warung-warung tradisional Wonosobo. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “sayur ekstrem” karena tampilannya yang penuh cabai utuh. Tapi bagi warga lokal, itu bukan ekstrem—itu nostalgia.
Jadi, kalau kamu berkunjung ke Wonosobo, jangan hanya cari mie ongklok atau carica. Masih ada Jangan lombok yang bisa dimakan sembari menikmati tempe kemul dan teh corbang yang hangat.