
APAAJA.NET – ERP Jakarta solusi wajib atasi macet? kemacetan Jakarta bukan masalah baru. Namun, hingga kini solusi yang benar-benar mampu menekan dominasi kendaraan pribadi belum juga terlaksana secara efektif. Electronic Road Pricing (ERP) atau sistem jalan berbayar elektronik kembali menjadi sorotan setelah Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menggulirkan kebijakan kenaikan tarif parkir sebagai langkah awal menuju pembatasan kendaraan pribadi.
Baca Juga: Double Winner di Mandalika! Muhammad Irgi Harumkan ROB1 Racing Team di Yamaha Sunday Race 2025
Dilansir dari Portal Pekalongan, ERP bukan sekadar wacana. Sistem ini sudah direncanakan sejak dua dekade lalu, tapi belum pernah benar-benar diterapkan karena berbagai kendala, mulai dari teknis hingga politis. Padahal, kota-kota besar dunia seperti Singapura, London, dan Stockholm telah membuktikan bahwa ERP mampu menurunkan volume lalu lintas secara signifikan.
Sistem Pembatasan yang Transparan dan Efektif
ERP bekerja berdasarkan prinsip “pengguna jalan membayar.” Setiap kendaraan yang melintasi area tertentu di waktu padat akan dikenai tarif secara otomatis menggunakan teknologi kamera dan sensor. Ini berbeda dengan sistem ganjil genap yang bisa dengan mudah dimanipulasi melalui cara-cara tidak etis seperti membeli mobil kedua atau memalsukan pelat.
Dengan ERP, pembatasan kendaraan dilakukan secara adil dan fleksibel. Pengendara tetap bisa melewati jalur berbayar kapan pun, selama bersedia membayar. Hasil dari pembayaran ini dapat digunakan untuk memperbaiki dan memperluas layanan transportasi umum, memberikan subsidi, serta meningkatkan infrastruktur jalan secara menyeluruh.
Jakarta Sudah Siap, Tinggal Keberanian Politik
Secara regulasi, Jakarta tak punya kendala. ERP sudah diatur dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan diperkuat lewat peraturan pemerintah. Infrastruktur transportasi publik juga makin lengkap, dari MRT, LRT, TransJakarta, hingga sistem integrasi JakLingko.

Dari sisi teknologi, Jakarta juga telah mengadopsi pembayaran digital dan pengawasan lalu lintas berbasis sensor. Artinya, tidak ada alasan teknis yang bisa lagi menghambat implementasi ERP. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian politik dari para pengambil kebijakan dan dukungan dari masyarakat.
Penolakan Wajar, Tapi Harus Dijawab dengan Edukasi
Penolakan terhadap ERP sebagian besar datang dari kalangan pemilik kendaraan pribadi, ojek daring, pelaku logistik kecil, hingga politisi yang khawatir akan kehilangan suara. Kekhawatiran mereka perlu dijawab dengan pendekatan edukatif yang transparan: bahwa ERP bukan pajak tambahan, melainkan instrumen pengendali kemacetan demi kepentingan bersama.
Kebijakan ini juga bisa dirancang inklusif, dengan mempertimbangkan insentif atau pengecualian untuk kelompok rentan agar tidak menambah beban mereka.
Saatnya Melangkah, Bukan Sekadar Menonton

Warga Jakarta harus menyadari bahwa ERP bukan sekadar alat pembatas, tapi sebuah langkah strategis untuk membangun masa depan transportasi yang lebih tertib, sehat, dan manusiawi. Bila dibiarkan, kemacetan dan polusi akan terus memburuk. Justru sekarang adalah momen paling tepat untuk memulai, meski tidak sempurna sejak awal. Seperti TransJakarta yang dulu diragukan, kini menjadi tulang punggung mobilitas ibu kota.
ERP adalah investasi jangka panjang untuk kota yang lebih adil dalam hal mobilitas. Kita hanya tinggal memilih: berani berubah hari ini, atau terus terjebak dalam kemacetan tanpa akhir. ERP Jakarta solusi wajib atasi macet ini sangat membantu bukan?***