
APAAJA.NET – Tidak semua pengemudi ojek online adalah pengangguran? selama ini, banyak yang mengira bahwa pengemudi ojek online mayoritas berasal dari kalangan pengangguran. Namun, hasil survei dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan (Balitbang Kemenhub) justru membantah anggapan tersebut. Nyatanya, hanya sekitar 16 persen pengemudi ojol yang sebelumnya tidak memiliki pekerjaan sebelum bergabung sebagai mitra pengemudi.
Baca Juga: Skipping: Olahraga Ringan di Rumah yang Efektif Turunkan Berat Badan
Survei Balitbang Kemenhub Buka Fakta Baru
Dilansir dari Portal Pekalongan, dalam survei tahun 2019 dan 2022, ditemukan bahwa proporsi pengemudi ojol yang benar-benar tanpa pekerjaan sebelumnya hanya sekitar 16–18 persen. Sebagian besar lainnya sebelumnya memiliki pekerjaan tetap atau usaha lain dan menjadikan ojek daring sebagai pekerjaan utama maupun sampingan.
Ini menandakan bahwa bisnis transportasi daring belum sepenuhnya membuka lapangan pekerjaan baru seperti yang sering diklaim, melainkan hanya menjadi opsi pekerjaan tambahan atau alternatif.
Kondisi Mitra Pengemudi Ojek Online: Kerja Keras, Penghasilan Minim
Hasil survei 2022 yang dilakukan Badan Kebijakan Transportasi Kemenhub juga menunjukkan bahwa mayoritas pengemudi:
- Pria berusia 20–30 tahun (40,63%)
- Bekerja 6–12 jam per hari
- Pendapatan per hari hanya Rp 50.000–Rp 100.000
- Hampir tidak pernah mendapat bonus dari aplikator
- Jarang menerima tip dari penumpang
Biaya operasional per hari pun hampir setara dengan pendapatan, menyebabkan penghasilan bersih sangat rendah. Kenaikan tarif ojek online yang diberlakukan per 11 September 2022 justru menurunkan jumlah order dan memperparah situasi para driver.
Tantangan di Lapangan: Tanpa Jaminan dan Status Hukum yang Lemah
Mitra ojek online saat ini berada di posisi serba tidak pasti. Mereka:
- Tidak memiliki jaminan hari libur
- Tidak mendapat asuransi atau jaminan kesehatan
- Tidak memiliki status hukum pekerja tetap
Meskipun disebut sebagai mitra, kenyataannya para pengemudi tidak memiliki perlindungan hukum dan hak pekerja sesuai standar ketenagakerjaan.
Perlunya Regulasi Serius: Belajar dari Kota Agats dan Korea Selatan
Contoh baik datang dari Kota Agats (Kab. Asmat) yang sejak 2011 menjadikan ojek sebagai angkutan umum resmi. Kendaraan diatur menggunakan pelat kuning, dan pemerintah daerah memiliki regulasi yang melindungi pengemudi. Pemerintah Indonesia dapat meniru langkah Korea Selatan yang membuat aplikasi transportasi sendiri untuk mendukung sopir lokal dan memastikan perlindungan mereka.
Ojek online bukan solusi jangka panjang yang ideal bagi para pekerja. Pendapatan rendah, beban kerja tinggi, dan tanpa jaminan sosial menjadikan profesi ini kurang layak untuk dijadikan sandaran hidup. Sudah saatnya pemerintah dan aplikator menyusun kebijakan yang adil dan berpihak pada pengemudi agar kesejahteraan mereka terjamin. Tidak semua pengemudi ojek online adalah pengangguran sebuah fakta bukan?.***