
APAAJA.NET – Kemarin pagi, secangkir kopi dan sebuah buku tua yang sudah mulai rapuh dibaca kembali oleh Indra Hari Purnama menjadi teman renungan saya. Buku itu berjudul Wasiat-Wasiat Revolusioner Bung Karno karya Ferry Taufiq E.J. Tak sengaja saya membuka halaman pertamanya bersamaan dengan notifikasi tanggal di ponsel yang menunjukkan: 1 Juni. Apakah ini hanya kebetulan, ataukah sebuah isyarat ilahiah untuk merenungi kembali makna Pancasila?
Bagi saya, Pancasila bukanlah sekadar lima kalimat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Ia bukan sekadar hafalan pelajaran PPKn atau bagian dari naskah upacara setiap Senin pagi. Pancasila adalah napas bangsa. Ia hidup dalam denyut kehidupan sehari-hari, menjadi penggerak nilai, penjaga arah, dan penuntun moral dalam hidup berbangsa dan bernegara di tengah kemajemukan.
Sila Pertama: Ketuhanan yang Maha Esa
Sila pertama adalah fondasi spiritualitas bangsa Indonesia. Ia bukan hanya bentuk pengakuan kepada Tuhan, tetapi juga ajakan untuk saling menghormati keyakinan yang beragam. Di sinilah akar toleransi kita bertumbuh.
Baca Juga; Crazy Rich Purbalingga, Wabup Dimas Ajak Siswa Jadi yang Menginspirasi Gelar Karya P5
Namun sayangnya, di tengah derasnya arus digital, nilai ini mulai memudar. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang berbagi, seringkali berubah menjadi arena saling mencaci, bahkan sesama umat beragama. Saya meyakini, ini bukan sesuatu yang terjadi secara alami, melainkan bagian dari upaya sistematis untuk memecah-belah bangsa—terutama umat mayoritas.
Oleh karena itu, sila pertama bukan hanya untuk dibaca, tetapi harus dijadikan benteng. Ia adalah alarm moral yang senantiasa mengingatkan agar tidak terjerumus dalam intoleransi, ujaran kebencian, bahkan tindakan koruptif yang merugikan bangsa.
Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila ini menempatkan manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Dalam kehidupan yang kerap keras dan penuh ketimpangan, nilai kemanusiaan menjadi pengingat bahwa kemajuan bangsa tidak boleh menginjak-injak martabat manusia. Sebaliknya, ia harus menjunjung adab, kasih, dan keadilan.
Baik dalam skala individu maupun sistem pemerintahan, sila ini harus menjadi rujukan utama. Dalam birokrasi, pendidikan, bahkan dalam dunia digital—kita perlu kembali pada nilai kemanusiaan. Jangan sampai manusia hanya dilihat dari data, algoritma, atau kepentingan ekonomi.
Sila Ketiga hingga Kelima: Satu Nafas untuk Masa Depan
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, serta Keadilan Sosial untuk Seluruh Rakyat Indonesia—ketiganya adalah kesinambungan dari fondasi spiritual dan kemanusiaan. Dalam sila-sila ini, kita menemukan arah berbangsa yang sejati.
Pancasila bukan milik masa lalu. Ia adalah milik hari ini dan masa depan. Ia bukan teks mati, melainkan napas yang menghidupkan bangsa. Di setiap silanya, terkandung nilai luhur yang jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, akan menjadikan Indonesia besar bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga secara martabat dan peradaban.
Sebagai anak desa yang tumbuh dengan keterbatasan dan pendidikan yang tidak tinggi, saya sadar saya bukan siapa-siapa. Tapi saya juga percaya: siapa pun bisa mencintai dan merawat bangsa ini. Salah satunya dengan menjaga dan menghidupkan Pancasila, bukan sekadar dalam ucapan, tapi dalam tindakan nyata.***