APAAJA.NET – Media sosial kini telah menjadi aktivitas terbesar yang dilakukan oleh anak muda. Setiap hari mereka berinteraksi dengan konten yang menampilkan pencapaian, kebahagiaan, dan kehidupan sempurna orang lain melalui platform seperti Instagram dan TikTok. Tanpa disadari, media sosial tidak lagi digunakan sebagai alat komunikasi, tetapi berubah menjadi alat pembanding diri dan penentu harga diri mereka.
Fenomena Validasi Digital dan Tekanan Sosial
Fenomena ini terlihat dari kebiasaan yang mengukur nilai melalui jumlah like, komentar, dan pengikut. Contoh paling nyata terlihat ketika anak muda mengunggah foto atau pencapaian pribadi lalu menunggu respons dari warganet. Unggahan tersebut seringkali dihapus atau diarsipkan jika jumlah like dan komentar dianggap “kurang ramai”. Tidak sedikit pula yang merasa minder ketika membandingkan jumlah pengikutnya dengan teman sebaya yang lebih populer.
Semakin tinggi angka-angka tersebut, semakin tinggi pula rasa percaya diri yang dirasakan. Sebaliknya, ketika respons yang diterima tidak sesuai harapan maka akan timbul rasa cemas, minder, bahkan merasa tidak berharga. Harga diri yang seharusnya dibangun dari pengalaman nyata justru bergantung pada penilaian orang lain di ruang virtual.
Baca Juga: Hidup Sehat Tanpa Rokok Bukan Sekadar Pilihan, Tapi Kebutuhan
Perbandingan Sosial yang Tidak Seimbang
Masalahnya, apa yang ditampilkan di media sosial itu hanya potongan kehidupan terbaik seseorang, sedangkan proses, kegagalan, dan perjuangan jarang ditampilkan di media sosial. Hal itulah yang membuat anak muda memandang potongan kehidupan terbaik seseorang untuk membandingkannya dengan diri sendiri.
Perbandingan yang tidak seimbang ini akhirnya memicu tekanan psikologis dan krisis kepercayaan diri. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat berdampak pada kesehatan mental anak muda seperti munculnya rasa cemas yang berlebihan, serta rasa takut tertinggal atau FOMO. Dorongan untuk terlihat sempurna akhirnya membuat anak muda terus mencari validasi eksternal.
Dampak Media Sosial terhadap Kesehatan Mental
Selain itu, media sosial kerap membentuk standar kecantikan, kesuksesan, dan gaya hidup yang seragam. Anak muda yang tidak sesuai dengan standar tersebut sering kali mengalami penurunan kepercayaan diri. Padahal, realitas sosial justru ditandai oleh keberagaman latar belakang, kemampuan, dan pengalaman hidup. Ketika standar tunggal dijadikan patokan, ruang untuk menerima diri sendiri semakin menyempit.
Baca Juga: UMP Jakarta 2026 Akhirnya Diumumkan Hari Ini! Pramono Janjikan Kenaikan Plus Insentif Tambahan
Media Sosial Bukan Musuh, Tapi Perlu Dikelola
Meski demikian, media sosial pada dasarnya bersifat netral. Dampaknya tergantung pada cara penggunaan dan pengelolaannya. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran bersama untuk menggunakan media sosial secara lebih sehat.
Anak muda perlu diajak memahami bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh algoritma, angka like, komentar, dan jumlah pengikut. Pendidikan literasi digital menjadi sangat penting agar media sosial dapat dimanfaatkan sebagai sarana berekspresi dan berbagi, bukan sebagai penentu harga diri.
Kesimpulan
Pada akhirnya, harga diri seseorang seharusnya dibangun dari hubungan sosial yang sehat, serta pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari. Media sosial dapat menjadi ruang untuk berkreasi dan berinteraksi, tetapi tidak semestinya menentukan nilai diri seseorang. Anak muda perlu kembali menyadari bahwa mereka berharga, bahkan tanpa sorotan dan validasi dari dunia maya.


