APAAJA.NET – WAJO – SULSEL – Santri belajar di pondok pesantren diharapkan tidak hanya menguasai Kitab Kuning (Kitab Turats), tetapi juga Kitab Putih.
“Yang dimaksud Kitab Putih adalah kitab-kitab berbahasa Inggris yang membahas sosiologi, politik, dan sains,” tegas Dr. KH. Fadlolan Musyaffa’, Lc., MA.,yang akrab dipanggil Yai Fadlolan, dari arena Musabaqah Qira’atil Kutub Internasional (MQKI) pada 1–7 Oktober 2025 di Pondok Pesantren As’adiyah, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan.
Dr. KH. Fadlolan Musyaffa’, Lc., MA. adalah Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan (PPFF) Pesantren Bilingual Berbasis Karakter Salaf Semarang, yang juga Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jawa Tengah.
Di MQKI 2025 Wajo, Sulsel, Yai Fadlolan ditunjuk menjadi Ketua Dewan Hakim Musabaqah Qira’atil Kutub cabang Bahtsul Kutub Fathul Wahhab, cabang Musabaqah (5/10/2025).
Semua Hakim Musabaqah Qira’atil Kutub cabang Bahtsul Kutub Fathul Wahhab, cabang Musabaqah, apalagi ketuanya, dituntut menguasai secara mendalam terhadap teks-teks klasik dalam bidang fikh.
Sebagaiamana kita ketahui, Kementerian Agama Republik Indonesia untuk pertama kalinya menggelar Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Internasional pada 1–7 Oktober 2025 di Pondok Pesantren As’adiyah, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan.
Kegiatan ini diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai daerah provinsi Indonesia dan sepuluh delegasi dari luar negeri. Ini menandai sejarah baru dalam dunia keilmuan pesantren.
MQKI 2025 Wajo, Sulawesi Selatan ini merupakan momentum untuk menghidupkan tradisi literasi Islam. Para santri hendaknya terus menghidupkan tradisi literasi Islam demi kemajuan peradaban Islam.
Para ulama dahulu tidak hanya mengajarkan ilmu secara lisan, tetapi juga menuliskannya dengan tekun. Karena itulah khazanah keilmuan Islam tetap lestari hingga sekarang.
Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, Kitab Kuning didefinisikan sebagai kitab keislaman berbahasa Arab atau bahasa lain yang menjadi rujukan dalam tradisi keilmuan Islam di pesantren.
Eksistensi Kitab Kuning sebagai sistem pengetahuan sudah ada sejak abad ke-1 hingga ke-2 Hijriyah dan terus berkembang hingga saat ini.
Tradisi literasi keislaman ini tetap bertahan karena memiliki khazanah keilmuan yang sangat luas dan mendalam.
Kitab Kuning sangat erat kaitannya dengan pendidikan pesantren. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mensyaratkan adanya sumber dan rujukan otoritatif seperti Al-Qur’an dan Hadis.
Kedua sumber utama itu dielaborasi secara lebih dalam oleh para ulama, menghasilkan karya-karya ijtihad yang disebut sebagai Kitab Kuning.
Dengan demikian, Kitab Kuning bukan sekadar teks klasik, melainkan warisan khazanah intelektual yang terus menghidupi tradisi keilmuan pesantren dan menjadi pondasi kebangkitan peradaban Islam masa kini dan mendatang.
Kitab Kuning, dalam lembaran-lembarannya yang terkadang dianggap kuno, sejatinya menyimpan harta karun keilmuan Islam yang telah membentuk peradaban selama berabad-abad.
Karena dari teks-teks itu, lahir ulama besar, pembaru, pemikir, dan penuntun umat. Mereka membaca bukan hanya dengan mata, melainkan dengan hati, pikiran, dan pengabdian.
Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) nasional dan internasional menjadi ikhtiar bersama untuk menghidupkan kembali tradisi intelektual Islam yang berakar kuat di pesantren.
Dalam lomba ini, para santri membaca dan mengulas karya-karya para ulama klasik mulai dari ilmu fikih, tafsir, tauhid, tasawuf, nahwu, Sharaf, mantik.
Semuanya itu bukan hanya sebagai teks mati, melainkan sebagai warisan hidup yang harus dipahami, dihidupi, dan aplikasikan dalam kehidupan. Karena itu, pelaksanaan MQKI di Wajo menjadi momentum penting untuk menghidupkan kembali kesadaran menjaga dan mempelajari warisan tersebut.
“MQKI 2025 Wajo, Sulsel, bukan sekadar lomba membaca Kitab Kuning, tetapi juga upaya merawat tradisi literasi ulama agar terus hidup di tengah umat,” tegas Yai Fadlolan kepada apaaja.net.
Dalam keterangannya, Yai Fadlolan menuturkan bahwa kegiatan MQKI 2025 sejatinya telah lama menjadi tradisi di dunia pesantren. Namun tahun ini menjadi sangat istimewa karena diselenggarakan dengan cakupan internasional.
”Dari dulu sesungguhnya sudah ada ajang perlombaan atau musabaqah ini, tapi kali ini ada internasionalnya. Karena mungkin kita mengambil take a line dari pesantren menuju dunia. Ini kan menarik sekali ya, maka harus ada wujud delegasi yang dari luar negeri, dan alhamdulillah tahun ini ada 10 delegasi dari luar negeri.”
Sebagai salah satu dewan hakim, Yai Fadlolan menekankan bahwa peran hakim bukan sekadar mengadili, menilai, melainkan juga mengajar proses tafaqquh fid-din yang mendidik dalam membangun wawasan santri.
”Ya, hakim lomba MQKI. Tapi saya lebih senang mengajari santri membuka wawasan dan Tatbiq (aplikasi) teks nas kutub pada kehidupan nyata di NKRI dengan mendiskusikan matan dan Syarah Kitab Fathul Wahhab, yang dikenal kalangan santri sebagai kitab fikih Syafi’i paling sulit. Santri kita bisa paham dan mengerti terapannya di bumi pertiwi. Kita ajak diskusi dan nyambung banget, sehingga peserta tidak hanya merasa dihakimi, tapi juga nyaman, rapi, dan istifadah mendapat ilmu baru,” ungkap Yai Fadlolan.
Kegiatan MQKI ini menjadi tonggak sejarah karena baru pertama kali diadakan dengan cakupan lintas negara. Kehadirannya membuka ruang pertemuan bagi santri dan pelajar muslim dari berbagai belahan dunia untuk memperdalam Turats (kitab klasik Islam), sekaligus mempererat ukhuwah Islamiyah internasional.
Salah satu peserta perwakilan dari Myanmar juga menyampaikan apresiasinya terhadap penyelenggaraan MQK Internasional ini.
”Musabaqah ini memfokuskan perhatian para pelajar agar mereka mendalami kemampuan membaca dan memahami kitab. Ini adalah hal penting, karena di sebagian universitas, kita mulai melihat hilangnya bakat-bakat ini,” ungkapnya.
Pernyataan tersebut menunjukkan betapa pentingnya MQK Internasional sebagai wadah regenerasi keilmuan Islam klasik di tengah tantangan global.
Kegiatan ini diharapkan mampu menginspirasi para santri agar semakin bersemangat dalam mendalami kitab kuning, serta meneguhkan kembali karakter pesantren sebagai benteng ilmu dan moral.***